Posts

Darah Timor

         Lima tahun yang lalu, Al o ysius Waiwerang keluar dari penjara Nusa Kambangan dengan baik, dalam arti banyak orang yang sedih, terutama karyawan penjara, karena mereka kehilangan pemburu celeng yang baik, yang berlari – lari memburu celeng dan langsung membunuhnya dengan tombak. Disamping itu, Alo sangat setia dan ramah kepada siapa saja, terutama kepala penjara dan tuan – tuan pegawai penjara serta keluarga – keluarga mereka.       Ia bermukim di sana selama lima tahun. Kesalahan yang dibuatnya adalah; Ia membunuh seorang pastor dengan parang yang selalu tergantung dipinggangnya. Ini suatu hal yang biasa buat sementara laki  –  laki    di kampungnya. Menyelesaikan suatu pertentengan dengan parang, Oh mengapa ia membunuh seorang pastor tua yang telah puluhan tahun bermukim di kampungnya?      Di waktu kecilnya, pastor itulah yang memberikannya pendidikan agama ketika Alo masih duduk di bang...

Memorabilia

Image
haruskah aku menjadi puisi melankonis untukmu, tuan? yang merubah debu menjadi suara rindu yang merubah kayu - kayu untuk mengutarakan rasa pada anggunnya rupamu barangkali kau lupa, tuan? pada sandaran kepala; dadaku, tempat hilir air matamu mengalir deras disana mengusir gusar dalam bisik manja anak Adam dan barangkali kau benar - benar lupa, tuan? pada diri yang pernah terbunuh sepi bagai bangunan hierarki agung tak terjamah kutipan bingar; meresap diam ada harap cemas untuk kembali saling menatap mata penuh duka tertahan; meski dipaksa mati tiap rasa yang pernah menetap di denyut nadi tetapi tuan, puan yang ini tak pernah lupa rayumu dalam canda malam beradu penuh candu pada titik temu dan kokoh bahumu mengusir resahku pun aku tahu, tuan sudah tamat seluruh geliat rasamu hingga tatap rengkuhmu tak lagi membasuh getir yang menghampar sedu biarkan rindu yang berlalu menjadi bait nada, tuan biarlah angin bertiup lembut pada lingkaran semesta; merengkuh samudra, merekahkan pu...

Bu, Anakmu Patah Hati

Malam mengetuk jendela sepi yang mendekap tubuhnya sendiri. Dibisikannya partitur, pengiring elegi atas dua hulu sungai yang tengah bermonolog dengan takdirnya. Bibir ini masih terpasung kenyataan, enggan bergumam mengutarakan gelisah atau mencari lengan ibu untuk sekadar basa-basi. "Bu, anakmu patah hati." Namun, itu hanya bagian dari elegi Nada yang mengalun di antara bantal yang basah sebab dua hulu sungai telah kehilangan hilirnya. Menyisakan renjana yang mulai lapuk, pun rasa kembali remuk. Lantas sayup-sayup hujan turun. Bukan hanya partitur hampa, kini gulita menampar lapuknya renjana. Menyajikan hidangan makan malam, ialah duka yang dikemas kerisauan. Pada lembar monokrom kala mata terpejam, terlukis imaji dan tiap jengkal memoar yang pernah diutarakan. Menjadi penyempurna untuk renjana yang mulai lapuk, dan rasa yang benar-benar remuk. - Aini

The Study of Him

He, who refuse to talk about the rain, the pain, the villain, avoiding every indirect release of feelings in return for peace instead of healing. As he traced my veins, taking the route where my thumb left all it is caresses behind, it led to him and everyone but me. While i am caught those nights and those days dreaming flight, when all i cared for was him, when all i craved for was him, and i dream of the kisses i could not have, touching the hallucination of his presence. My reverie does not do justice, to his eyes under a blithe twilight, my hands run through the air silhouette, collecting wishes of him in my palms. - Aini  

Kisah Temaram

Ini adalah tentangku, tentangmu, tentang kita, juga seluruh kisah kita yang kehilangan arah. Di sudut layar gelap,  pemikiran yang hanyut dalam lamunan tengah malam, menghadirkan selembar bayang yang perlahan hirap dari tempatnya bersemayam.   Abadi di antara melodi dari partitur yang menjadi pengiring sebelum tidur. Ialah kalimat tentang 'sudah' saat kau beralasan 'lelah'.   Aku pernah memikul tangisanmu. Bahu yang kerap kali menyerap resah sebelum kau jemput mimpimu. Tak lain, aku hanya figuran. Layaknya dinding pemanis untuk sebuah pertunjukan. Segala sesuatu pada hakikatnya berpasangan. Seperti, kau yang pergi dengan senyum sumringah, sedang aku diam mematung terikat gundah. Kau adalah lakon, sedang aku peran pendukung pemantik guyon. Kemudian ditertawakan semesta. Sebab membawa diri yang sudah terluka pergi mencari takhta di tengah medan perang.   Takhta yang persis di sudut hatimu. Dengan kunci yang kau buang di luasnya imajiku. Maka aku jadi pengelana waktu,...

Tuan Maherat

Siang menyinsing seraya embun berpaling. Berhias peluh kala surya merajai mata angin. Buku lusuh meracau. Burung - burung berkicau. Aksara berhamburan. Inikah pertanda kehilangan?   Kuraih diksi yang enggan turun barang sekali. Sebab bosan di rangkai menjadi kalimat patah hati. Hingga sunyi beranjak pergi, sepi menghianati. Yang tersisa hanya ironi sebagai selimut diri.   Kini simfoni tak lagi berdendang di awal hari. Sapaan pengganggu mimpi tak lagi menyambangi. Hati berat sampai surya tenggelam di ufuk barat. Menjadi kisah penat dengan elegi yang melekat.   Harapan apalagi yang harus di perjuangkan? Takhta mana lagi yang menjadi kemenangan? Tak ada harap lingkup bahasa netra berpijak. Hanya ada semerbak rindu yang kian menjebak.   Aku semakin tersudut di ruang putus asa. Merajut dilema di pekatnya ruang tanpa cahaya. Elegi tercipta dari percikan bahasa netra. Melangit aksara-linang kehilangan muara.   Jika bisa kulampaui padatnya waktu dan ruang. Awal petaka ...