Tuan Maherat
Siang menyinsing seraya embun berpaling. Berhias peluh kala surya merajai mata angin. Buku lusuh meracau. Burung - burung berkicau. Aksara berhamburan. Inikah pertanda kehilangan? Kuraih diksi yang enggan turun barang sekali. Sebab bosan di rangkai menjadi kalimat patah hati. Hingga sunyi beranjak pergi, sepi menghianati. Yang tersisa hanya ironi sebagai selimut diri. Kini simfoni tak lagi berdendang di awal hari. Sapaan pengganggu mimpi tak lagi menyambangi. Hati berat sampai surya tenggelam di ufuk barat. Menjadi kisah penat dengan elegi yang melekat. Harapan apalagi yang harus di perjuangkan? Takhta mana lagi yang menjadi kemenangan? Tak ada harap lingkup bahasa netra berpijak. Hanya ada semerbak rindu yang kian menjebak. Aku semakin tersudut di ruang putus asa. Merajut dilema di pekatnya ruang tanpa cahaya. Elegi tercipta dari percikan bahasa netra. Melangit aksara-linang kehilangan muara. Jika bisa kulampaui padatnya waktu dan ruang. Awal petaka ...