Darah Timor

       Lima tahun yang lalu, Aloysius Waiwerang keluar dari penjara Nusa Kambangan dengan baik, dalam arti banyak orang yang sedih, terutama karyawan penjara, karena mereka kehilangan pemburu celeng yang baik, yang berlari – lari memburu celeng dan langsung membunuhnya dengan tombak. Disamping itu, Alo sangat setia dan ramah kepada siapa saja, terutama kepala penjara dan tuan – tuan pegawai penjara serta keluarga – keluarga mereka.

     Ia bermukim di sana selama lima tahun. Kesalahan yang dibuatnya adalah; Ia membunuh seorang pastor dengan parang yang selalu tergantung dipinggangnya. Ini suatu hal yang biasa buat sementara laki  laki  di kampungnya. Menyelesaikan suatu pertentengan dengan parang, Oh mengapa ia membunuh seorang pastor tua yang telah puluhan tahun bermukim di kampungnya?

     Di waktu kecilnya, pastor itulah yang memberikannya pendidikan agama ketika Alo masih duduk di bangku sekolah dasar. Setelah ia menjadi besar, karena sekolahnya hanya sampai di sekolah dasar saja, ia tak dapat memilih pekerjaan lain kecuali bertani, kemudian bekerja sambilan pada missi katolik di kampungnya. Kerja sambilan ini cukup menarik hatinya. Ia menjadi tukang pikul ransel tuan pastor ketika yang terakhir ini mengadakan torne ke kampung-kampung untuk mengabarkan cinta kasih Kristus kepada sesama manusia.

    Dalam ransel, ada barang-barang yang berhubungan dangan tugas pastor itu: Buku  buku agama, pakaian, bekal dan sepasang sepatu serep. Alo tidak punya apa-apa, kecuali sepasang celana hitam yang pendek dan sebuah baju kaus dalam yang sudah dekat dengan warna tanah di kampungnya, warna  hitam kekuning – kuningan. Milik lain adalah selembar kain pelekat tipis yang sudah tua yang selalu terselempang di bahunya. Ia adalah seorang laki – laki muda yang kuat menahan dingin dan panas sambil memikul ransel pastor. Sudah beberapa tahun, pekerjaannya itu dilakukannya dengan penuh kesetiaan pada pastor itu. Kesetiaan nasrani kalau boleh dikatakan demikian.

Kesetiaan itu terbatas pada suatu hari, di sebuah kampung terpencil yang penduduknya kurang lebih sepuluh kepala keluarga. Ketika itu, keduanya baru saja datang dari sebuah kampung yang terletak di sebuah lembah yang makmur dengan ladang – ladang dan sedikit sawah yang tercampur dengan kebun – kebun kopi dan jeruk.

Penduduknya berdarah panas alias bertemperamen keras, tetapi penuh dengan iman, harapan, dan kasih. Di samping rumah – rumah yang besar yang dibuat dari ilalang dan ijuk serta kayu – kayuan yang diambil dari gunung – gunung yang mengitari lembah itu. Ada kendang – kandang binatang yang sehat – sehat dan gemuk – gemuk. Di tengah – tengah tempat kediaman manusia dan binatang itu, ada sebuah rumah tuhan yang beratap seng dengan candinya yang runcing menjulang. Disekitarnya ada sebuah rumah penginapan milik Missi, rumah sekolah dan rumah – rumah guru.

     Tuan pastor dan Alo baru saja datang dari kampung itu. Seminggu lamanya mereka layani umat di kampung yang terletak di lembah itu, kemudian dengan rencana torne, Tuan pastor dengan Alo, datang ke kampung berpenduduk sepuluh kepala keluarga itu untuk selama satu hari.

    Di hari minggu, tuan pastor akan memimpin missa, memberi komuni, dan setelah salfe di sore hari, keduanya akan berangkat malam – malam menuju sebuah kampung terpencil lainnya yang terletak dibalik gunung untuk melalukan pekerjaan yang sama. Kurang lebih delapan jam lamanya keduanya berjalan dari kampung yang terletak di lembah itu. Keduanya cukup capek mendaki jalan setapak yang berliku – liku mengikis lereng gunung. Tetapi begitu mereka sampai, Alo segera menanak nasi, membuatkan tua pastor segelas teh. Ini adalah pekerjaan rutin buat Alo.

Tuan pastor juga melakukan pekerjaan rutin secara mekanis, tangannya bergerak kukuh membuka ransel, mengeluarkan buku – buku dan meletakkannya di atas bale – bale lalu memberes – bereskan pakaiannya, handuknya, sikat giginya, sisirnya, sabunnya, dan tiba – tiba matanya menukik, keningnya berkerut.  Secara mekanis, logikanya berjalan!

     Selama di seminari tinggi dan selama menjadi pelayan Kristus, Tuan pastor telah terlatih dengan cara berpikir logis. Disaat tangannya bergerak kukuh dan mekanis mebongkar – bongkar ransel, merembetlah tiba – tiba mekanisme tangan ke mata, ke dahi dan ke otak besar dan otak kecilnya dan selanjutnya…… dalam waktu yang rahasia….. merembes ke jantungnya yang deras memompah darahnya. Intuisi dan emosinya tidaklah ketinggalan….  Tetapi apakah semuanya ini? Entahlah apa namanya, tetapi semuannya berkisar pada sepasang sepatu yang hilang!

    Dalam keadaan yang demikian, Tuan pastor adalah seorang yang dapat menahan emosi. Dia adalah seorang gembala umat yang baik dan oleh karena itu ia terus memakai cara – cara berpikir sistematis lebih dahulu, emosi kemudian.

    Keduanya sendiri dalam biak yang terletak di samping kepala. Alo sedang sibuk mempersiapkan makanan ketika Tuan pastor memanggilnya pelan – pelan. Ditengah – tengah keduanya terletak ransel yang mengangah. Di samping Alo, terletak isi ransel itu.

    “Alo” kata Tuan pastor dengan lembut.

    “Ya, Tuan pastor,” jawab Alo dengan penuh kepatuhan.

    “Tuhan memberi kita otak untuk berpikir dan barang siapa yang menerima anugrah ini dan tidak mempergunakannya, dia menyalahi kehendak Tuhan.”

    ” Ya, benar Tuan pastor “, kata Alo dengan suara yang rendah menerima segala ucapan Pastor.

    “Alo, saya sedang mempergunakan pikiran: Mengapa sampai sepatu saya tidak ada dalam ransel, padahal saya ingat betul, sebelum kita berangkat dari lembah, sayalah yang menaruh sepatu itu dalam ransel”.

     Alo kaget. Matanya melihat kaki pastor. Sepatu bot tuannya yang berdebu masih membungkus kakinya

    “Tuan pastor,” kata Alo, “Saya hanya mengangkut ransel itu. Seingat saya, saya tidak pernah membuka ransel itu diperjalanan. Ya, seingat saya, saya pernah meletakkannya di atas batu yang bersih yang muncul di tengah sungai yang mengalir di kaki gunung, dimana kita beristirahat dan mandi. Batu itu dikelilingi air. Tidak mungkin ada orang yang mengambilnya. Menurut pikiran yang sehat dan jernih, belut atau udang tidak mungkin mencuri sepatu. Sehabis mandi, bukankah tuan pastor melihat sendiri saya mengangkut ransel itu, bukan?”

    Mendengar ucapan Alo, tuan pastor hanya mengangguk – angguk kepala sambil berpikir bahwa apa yang dikatakan Alo, masuk diakal juga. Tidak mungkin ada binatang yang telah campur tangan atas kehilangan ini. Kalau begitu, siapa lagi kalau bukan manusia yang mencurinya? Tapi ini suatu kesulitan besar. Manusia siapa yang mencurinya? Ia sadar betul bahwa semenjak keberangkatan dari lembah hanya keduanya yang berada di kulit bumi. Orang ketiga hanyalah Kristus, tetapi Kristus telah memberikan logika berpikir kepada manusia – kepada pastor – kemudian adalah kedua manusia itu sendiri menyelesaikan persoalan sepatu.

    Ya, semesta penciptaan jadi bisu, betul – betul jadi bisu ketika lambat laun Sang pastor jadi dongkol sambil berpikir dan mengingat terus.

    Di pihak lain, dipihak Alo terjadi proses yang sama; ia heran dan menyesal, dongkol dan berpikir serta mengingat – ngingat. Ia kepingin sekali mengetahui dimana sepatu itu terlontar meninggalkan kedua mahluk Tuhan itu.

    Apa mau dikata lagi? Jarak dari kampung di lembah dengan kampung di lereng gunung itu sudah cukup jauh, tetapi dengan mempergunakan ingatan dan pikiran jarak itu menjadi dekat dan akhirnya Tuan pastorlah yang memperdekat jarak itu dengan sebuah kesimpulan yang masuk akal.

    “Alo,” katanya, “menurut pikiran waras,  tidak ada belut atau ikan  di sungai yang dapat mencuri sepatu itu bukan?”

    “Benar, Tuan pastor” kata Alo. “Tetapi tuan ingat – ingat dulu, barangkali tuan lupa menaruhnya. Barangkali sepatu tertinggal.” 

    “Saya percaya pada ingatan saya. Walaupun demikian, dapatkah Alo menolong mengingatkan saya dan mengingatkan diri sendiri, apakah ada sesuatu yang tertinggal di sana?”

     Alo mengingat – ngingat sebentar.

“Seingat saya,” kata Alo kemudian. “Tidak ada sepatu yang tercecer. Sudah sekian tahun saya terlatih untuk tidak melupakan barang – barang tuan. Ini suatu keanehan bagi saya kalau sepatu itu hilang.”

      Pastor itu diam. Di depannya seolah ada sesuatu gerongga yang kosong, yang harus diisi oleh suatu kebenaran dan kebenaran itu tidak usah jauh – jauh dicari karena menurut logika, siapakah lagi yang mencurinya kalau bukan Alo?

     “Alo, Kaulah yang mencuri sepatu itu,” kata Tuan pastor dengan penuh keberanian mempertahankan kebenaran kesimpulannya. “Ini menurut akal sehat: Tidak ada kemungkinan buat ikan di sungai itu untuk mencuri sepatu.”

      “Alo terkejut. Jantungnya menderu seperti mesin. Hatinya tersinggung. Siapakah yang dapat menolong dia dari tuduhan yang berdasarkan pikiran yang logis itu? Tiada ikan – ikan yang mencuri. Belut yang panjangpun tidak mampu meraih sepatu. Hanya manusialah yang mencurinya. Ia menyadari betul kebenaran cara berpikir ini, tetapi sekaligus ia menyadari bahwa ia tertangkap kedalam gerongga hilangnya sepatu Tuan pastor itu. Demi kebenaran yang ia hayati sendiri di muka bumi ini, kebenaran yang kini tidak bisa dihayati oleh pastor, karena pastor telah melancarkan sebuah kebenaran pikiran, ia harus keluar dari dalamnya, ia harus berani.

     Tuan pastor telah meninggalkan dia. Tiba – tiba keberanian Alo hilang. Ia makin menjadi sunyi senyap. Bertanya – tanya pada dirinya sendiri. “Siapakah yang telah mencuri sepatu itu?”

Sebagai seorang nasrani, ia mencoba melihat wajah Kristus dalam imajinasinya, dan sekaligus meminta pertolongan untuk menyelesaikan masalah ini. Tapi nampaknya kristus hanya tersenyum dan berkata: Kau, anakku Alo, tidak mencuri. Ah, tiba – tiba harga dirinya kembali. Tuan pastor telah menghina putra Kristus yang bernama Aloysius Waiwerang. Ini tidak bisa ditolerir. Alo tersinggung betul.

     Tetapi celakanya, Pastor adalah wakil Tuhan di bumi. Mengapa wakil Tuhan tidak melihat kebenaran yang hakiki(?)

     Ketika pikiran Alo sedang melingkar – lingkar dan terkaing – kaing karena tuduhan telah mencuri sepatu itu, tiba – tiba ada suatu halilintar yang meremuk redam hatinya: “Alo,” Tuan pastor bersuara keras.

     “Mengakulah, kepada Tuhan dan kepada saya, bahwa sepatu itu kau ambil.” Amboi, kesadaran Alo sebagai orang yang menghayati kebenaran tidak mencuri sepatu, menjadi hilang. Ia tercebur dalam mekanisme aliran darah yang makin lama makin panas dan kencang dan darah itu  mendesak; keotaknya sehingga tidak bisa berpikir lagi dan darah yang lainnya turun ke urat – urat matanya yang disentak menjadi merah, sehingga hampir tak mampu melihat keindahan dunia dari lereng gunung itu. Ia masih mampu berdiri sendiri sebagai manusia. hatinya terkaing – kaing tersinggung karena martabatnya  diinjak – injak. Dengan lain kata, ia masih mempunyai kemampuan mempertahankan diri, disamping keterbatasannya.

    Ia mampu melihat mata pastor dengan matanya yang merah dengan segala kebenciannya. “Laki – laki ini,” demikian suara kemampuannya, “laki – laki ini berpikir bahwa hanya ialah yang berdiri sendiri di muka bumi ini dengan kebenaran yang ada padanya.”

   Dalam waktu yang sama tuan pastor melihat dia dengan mata yang ditopang oleh kesimpulan yang telah dimilikinya sebagai kebenaran. Keduanya berpandang – pandangan seperti ayam yang sedang memulai bersabung.

     Alo tak tahan lagi melihat pandangan itu. Hatinya betul – betul tersinggung karena martabat dirinya digiring kedalam gerongga tuduhan sepatu hilang. Alo meninggalkan pastor itu dan kembali lagi dengan parang dalam sarung yang tergantung di pinggangnya. Oh! ketika ia hendak menunjukkan kemampuan untuk melenyapkan anggapan yang tak benar dalam mata dan  kerongkongan pastor itu, ia tertunduk pada suatu benteng yang bernama hati nurani manusia,  dimana roh cinta kasih Kristus terukir. Ia sembahyang di depan pastor itu.

    Melihat kelakuan yang demikian itu, tuan pasor yang baik hati itu juga bersembahyang kepada Kristus, agar Kristus mengampuni kesalahannya mencuri sepatu.

     Harga diri Alo sekejap kembali. Ia berdiri di atas sebuah gunung yang tinggi, sendiri, dalam keagungan sebagai manusia yang telah membela kebenaran. Di sampingnya ada mayat tuan pastor yang terbaring sendiri penuh rahasia dan kebodohan karena logika berpikirnya dalam hilangnya sepatu. Tangan dan semuanya sudah tidak berfungsi lagi.

     Tiba – tiba Alo menjadi makin sunyi, hidup dalam kebenaran dan kengerian. Ia benar tidak mencuri sepatu, tetapi ia ngeri sekali karena telah membunuh manusia yang seperti juga dirinya. Kebenaran dan kengerian menjadi tampang pribadinya.

      Dengan dua tampang itu, tampang yang sangat berlawanan itu, ia turun ke lembah dimana ada pos polisi. Sudah kebiasaan untuk orang – orang timor yang membunuh, menyerahkan dirinya kepada polisi. Inipun suatu mekanisme yang aneh. Dengarlah percakapan apa yang telah terjadi dengan polisi:

     “Kenapa kamu membunuh pastormu sendiri?”

   “Karena saya sendiri di lereng gunung itu. Karena angin. Karena matahari. Karena sungai yang membikin saya capek, karena saya marah dituduh mencuri sepatu,” kata Alo dalam kebingungan, penyesalan, kengerian, dan kesunyian atau entah apalagi lukisan yang patut diberikan kepada seorang yang baru selesai membunuh.

      Polisi menggeleng – geleng kepala sambil menyuruh ia duduk di lantai. Kepalanya terkulai layu. Ia capek sekali lalu tertidur. Tidak lama kemudian seorang anggota polisi yang lain menggoyang – goyang kepalanya. Matanya yang merah, semerah darah yang ditumpahkan, membelalak kaget melihat sang polisi menggoyang – goyang sepatu yang telah robek di depannya.

     “Ya, ini dia sepatu tuanku yang selalu dipakai melayani missa!” teriak Aloysius.

     “Seekor anjing membawa sepatu ini ke lapangan bola. Seorang anak menemukan anjing itu sedang mengunyah – nguyah sepatu itu. Dipukulnya anjing itu, dibawanya sepatu ini kepada kami,” kata polisi.

      “Segera sesudah itu, Alo dimasukkan dalam sel. Matanya tiba – tiba memagut seorang yang terasing sendiri di pojok. Mata keduanya saling mengucap selamat bertemu dalam kesunyian dan keterasingan. Kemudian keduanya berkata – kata:

      “Membunuh?”

      “Ya.”

      “Mengapa membunuh?”

      “Saya membunuh karena angin. Angin merobohkan pepaya saya ke kebun orang lain. Orang lain memetik buahnya. Saya marah. Dia marah. Angin menyebabkan saya membunuh dia.”

       “Saya membunuh karena kulit dan kerongkongan. Sepatu kulit pastor hilang dibawa anjing, kerongkongan menuduh saya mencuri.”

      Keduanya sangat sendiri, ketika lonceng gereja kampung berkelolongan menyambut jenazah turun dari lereng gunung.

 

                                                                                                  Aini

Comments

Post a Comment

thank you for open this blog! with love -aini

Popular posts from this blog

Kisah Temaram

Rinduku

LawPhobia