Posts

Showing posts from 2020

Agenda Rindu

Lama tidak bersua dengan mata pena. Sekedar merajut aksara di lembar putus asa. Resah, merayap pada lengan malam. Gelisah, rindu tak ada tempat untuk berpulang.   Aku melihatmu di antara semburat rembulan. Kala renung mengajakku terbang di rasi bintang. Mengangkasa seorang diri, menyusuri jejak sang tuan. Berharap ada setitik darinya yang terjatuh untuk kucuri.   Namun, suara kesepian kian mencekam. Gemirsik daunbersetubuh dengan angin malam. Gendang telinga dipenuhi nada perpisahan. Sedang muara tak mampu menampung elegi kejujuran.   Yang terjatuh seiring kabut berlabuh. Samar - samar embun menutup gaduh. Sampai bulan meninggalkan tempatnya. Dan rindu kian kuat di atas singgasana.   Mata itu, penyebab rindu kian memuncak. Pernah berpijak meski hanya tinggal sebuah jejak. Partitur senyap membungkam kesepian. Tuan, maaf jika rinduku tak berkesudahan.  - Aini

LawPhobia

Hukum di negeri ini lebih busuk dari kritik kapitalis Pasca meredupnya kobaran api gelora aktivis Berita sampah jadi pajangan layaknya obituari   Molotov terakhir terlempar di gedung hijau Ekonomi jadi alasan kejujuran di cekoki HAM menjadi tiga huruf penghias buku keadilan Meski sengsara tak berawal dari nyalak senapan   Istana hanya milik mereka penggiat korposial nasional Suap menjadikan rupa layaknya lubang sanggama binal Demi kedudukan, tahta, dan kemewahan Menjadi budak tetesan liur berahi uang jutaan dollar   Bertahun - tahun menggelandang Satu tahun mendekam Lex talionis menjadi kalimat tanpa arti Dongeng keadilan layaknya tali untuk gantung diri   Lebih baik bersujud di ranjang pelacuran Bukan pada kertas berisi tumpukan peraturan yang tidak berdasar pada Pancasila Yang disalahgunakan kumpulan para penghianat rakyat, kemudian mencekik keadilan sampai sekarat   Tulisan sampah ini hanya ilusi. Jika kita tidak cinta pada air mata ibu pertiwi, yang menangis...

Lepas Kagum

Aku mulai menepikan diri dari segala hingar bingar tentangmu. Menyimpan baik - baik rindu,  untuk sekali - kali kutengok saat sendiri. Aku paham betul, bayanganmu masih saja enggan beranjak dari ingatan. Memutar kembali deretan kisah yang nyaman menyebut dirinya kenangan.   Pun memastikan, untuk hati ini tak kembali merayap menuju gersang. Perlahan melangkah menjauh dari gelap petang. Sambil mengantongi percikan pecahan hati yang masih bisa kuselamatkan.   Sungguh, sudahlah redam semuanya. Bohongmu yang jadi kebenaran. Bawa sakit yang terbahak - bahak dalam tawa. Segalamu menjadi akar yang menusuk tanpa ampun.   Tuan, Puanmu kini menikmati sepi yang sudah berduyun mengantri jatah untuk ku penggal. Kau cukup diam,  nikmati waktu asikmu saat lidah - lidahmu itu melumat menjadi guratan basah tanda merah.   Lagi untukmu. Kiranya perlu tau, menuliskanmu adalah upaya mengosongkan hati dari yang segala hal yang bernapaskan udaramu.   Maka, silahkan kamu berbe...

Cerita Pandemi

  Bicara soal Rabu malam yang menyegarkan, juga sinyalmu yang terputus minta disambungkan. Sementara daya ponselku yang habis minta di isi. Loh, obrolan kita belum selesai. Meski lima setengah jam habis sudah ku lalui bersamamu di telepon   Kamu bertanya, mau dilanjut kapan? Ku bilang besok pagi saja kita sambung lagi ya? Kemudian berebut mau memutuskan sambungan.   Dipikir - pikir lucu juga, semenjak kita tidak bersua. Hidungmu tak lagi jadi tridi . Rahangmu yang tegas tidak lagi bisa ku pukul, lalu tertawa mellihatmu yang kesal.   Pandemi, kapan selesai? Tidak sabar ku ajak dia jalan mencari lampu Malioboro. Kemudian duduk bersampingan di pinggir jalan sambil makan sate kesukaanmu. Yang sejak saat itu, jadi kesukaanku juga.   Ah, tapi aku tak suka disana. Dingin. Aku juga tidak suka pengamen yang membatasi perbincangan seru kita. Sukaku hanya bersua denganmu. Nanti ya! - Aini

Barangkali

Banyak kisah kita yang berantakan. Tentang bagaimana kita hadir di waktu yang salah tanpa paksaan. Lalu, siapa yang patut kita tuntu sayang? Aku? kamu? kita? atau, seluruh perasaan yang kita cipta? Mengertilah bahwa perasaan ini selaksa. Dekap dan terlelap di pelukmu yang terlanjur hangat. Kemudian aku dipenuhi rasa bersalah sebab mencintaimu. Bila kisahmu temaram, maka milikku juga. Bila kisahmu ikat lara, jadi milikku juga. Tolong beri aku aksama, agar bisa merakit kisah yang penuh harsa. Pada akhirnya kita sumarah. Menyerah. Saling mencintai di kala yang amat salah. Barangkali kita perlu waktu. Barangkali. Barangkali. Aku dan kamu. Jua barangkali, kita tak bisa jadi "kita" yang semestinya. - Aini

Apa yang sedang kamu suka, Tuan?

Apa yang sedang kamu suka dengan sepenuh hati, Tuan? Agar ku hidangkan dengan rindu yang terbiasa. Apa yang sedang kamu pikiran, Tuan? Agar kubantu menyelesaikan risau logikamu. Apa yang sedang kamu rindukan wahai Tuan? Agar sama - sama kita rakit rindumu jadi nyata. Apa  yang sedang kamu dambakan? Bukankah gadis cantik sebagai lakon utama di setiap cerita cintamu? Yang tentu saja bukan aku. Lalu kulihat di masa amarahmu. Penuh salah, marah dan darah. Dengan atau tanpa kata dan tatapmu, Aku lebih dari mengerti rasa dan karsamu. Kamu, simfoni. Menyamar menjadi siluet hitam pekat. Lekas, terbentur, terbentuk, kemudian menjadi utuh. Sungguh, apa yang bisa kubantu, Tuan? Jika harus memelukmu dalam diam-mu itu? - Aini

Catatan Mencintaimu, berhari - hari

Kamu tetap kamu. Yang telak mengerti bahasaku. Yang telak mengerti apa yang kuceritakan. Sayang, kau tak pandai memahami apa yang aku rasakan. Kita tetap berdua. Yang berjalan di tempat sekedar angan - angan. Tanpa kepastian, apalagi pembalasan. Halo, Aku paham bahwa kisah ini mungkin saja tidak menjanjikan akhir yang baik. Mungkin bukan aku, semua tujuan, cita dan cintamu. Entahlah, Kita bahkan tak pernah bisa beriringan. Bagaimana jika kita sesekali saling mengungkapkan? Bahwa aku mencintaimu tanpa berkala dan tak pernah aku paksakan. Tapi tenang sayang. Esok hari, jika kamu temukan kabar ia berhenti setelah mencintaimu berhari - hari, Ia sungguh - sungguh ingin melupa tanpa celah lagi. - Aini

Jeda, Hampir Jumpa.

Sejak sekiranya kamu kembali, Lalu kita rutin berwicara banyak kata. Kamu yang jadi alasan aku bahagia dengan segala yang kamu punya. Kamu mesti tak pernah menyukaiku. Kita hanya teman yang ditakdirkan saling menenangkan. Melipur lara yang kembali hadir. Tanpa tahu, untuk apa rasa ini dibentuk. Mengapa kamu tak pernah bisa jadi perasa? Tentang bagaimana aku mencintaimu tanpa jeda. Tentang bagaimana aku terus keluhkan kapan kita berjumpa. Kapan bisa ku ungkapkan padamu? Bahwa aku telah jatuh padamu, Kemudian mencintaimu dengan mubazir. Yang hilang waktu itu, kamu. Yang sibuk mencarimu, ya aku. -Aini

Si Tuan

Kita adalah sepi semesta. Yang memaksakan bertahan jadi alasannya. Tak pernah dikira - kira, bahwa aku akan jatuh pada tuan yang kepastiannya selalu kunantikan. Nyatanya jatuh padamu tak semudah itu. Berlalu, dengan banyak perjuangan. Terlebih, dasyatnya sakit berjuang sendirian. Bagaimana agar kamu tahu? Bahwa rasa ini tak pernah pura - pura. Bagaimana agar kamu mengerti? Bahwa rasa ini tak mudah pudar. Tuan, Tentang kisah dan cerita orang diluar sana. Yang tak jauh berbeda dengan kisah kita. Bisakah kita bertukar posisi? Biar kamu tahu, rasanya memperjuangkan. Biar jangan aku saja yang berperang perasaan. Maaf tuan, Aku yang belum bisa menerima, bahwa kisah ini terlanjur bertepuk sebelah tangan. - Aini

Sebagianku, Sepenuhnya Aku.

Kamu adalah sebagian dariku. Sebagian dari banyak harapan yang sibuk kusebutkan sesaat sebelum tidur. Sebagian rasa sedih bila kehilanganmu. Sebagian rasa khawatir juga bila kamu nyaman denngan pergimu. Kamu adalah sepenuhnya aku. Sepenuhya rasa cemburuku. Sepenuhnya rasa pulihku. Sepenuhnya rasa sembuhku. Jua, sepenuhnya rasa bahagiaku. Mengapa kau tak lelah berputar di atas sana? Penguasa sudut logika yang tak ada duanya. Penuh dengan ucapan manis tiap pagi, mengucap, memeluk, merindu, selalu begitu. Sampai akhirnya rindu adalah rutinitas kita. Aku menyukaimu. Menyukai bagaimana cara kamu memperlakukan-ku.. Bagaimana kamu mempercayai ceritaku padamu. Bagaimana pengakuan-mu. Bagaimana puisi romantis-mu. Bagaimana tenang-mu. Kamu adalah aku. Aku adalah kamu. Aku dan kamu. Dua insan penuh lara, saling mencinta, penuh pelukkan, setiap malamnya. Kita berdua dan banyak hal yang kita cipta. Segerakan kita korupsi waktu. Ralat. Aku. Agar bisa terus bersamamu. Ber...

Suatu Hari Nanti

Nanti aku saja yang berpesan duluan, takut karsamu di bawa angin. Langit nanti menangis akibat lelah. Ya sudah, nanti kita berhenti berteduh. Takut kapalmu salah pelabuhan (lagi). Aku realisasi jadi pikirmu. Supaya tahu apa yang kamu pikirkan saat menatapku panjang. Candumu, canduku telah senjang. Nanti jadi simetris kalau lara telah tiba jadi panjang. Cukupkanlah pertemuan dengannya hari ini. Kembali nanti kalau aku butuh untuk mengantarku pergi berlayar. Mau ke Neptunus, bangun rumah baru disana. Nanti (usaha) berkabar lagi - Aini

Sementara kita saling berbisik.

~ Sementara kita saling berbisik, sembilanbelas Mei '20 Merendam rindu. Menyembunyikan dendam. Lama kita tak bersua. Pula, lama kita tak berbicara. Sayang dilupa, kita memang tak pernah beradu kata. Jam - jam berdetik. Sejauh mana dengan hujan rintik. Ditanya apa kabar? Dijawab penuh tangis. Meringis penuh sakit. Faktanya, luka adalah bagian hidupmu. Entah di halaman ke berapa aku temukan waktu itu. Sementara pedih adalah bagian perjalananmu. Maka aku bersedia jadi pedih yang menjalar  ke logikamu. Bersediakah kamu ajak pergi ke dunia yang kamu cari? Lalu di temukan bersama patah hati. - Aini

Rinduku

Puan yang ini sedang merindu tanpa bersua. Tanpa bertatap mata. Tanpa melihatmu ada dimana. Sementara tuan-nya menghilang entah kemana. Rasa khawatir menyala. Tapi ia yakin tuan-nya baik - baik saja. Rindu merindu. Hilang menghilang. Kabar berkabar. Kapal berlayar. Tak pernah berharap salah pelabuhan. Nyatanya, Mungkin puan sudah salah pelabuhan. Ia (mungkin) telah jatuh ke tuan yang salah Tapi mau diapakan? Siapa yang bisa melawan. Jika mencintaimu adalah sebuah kesalahan. Maka puan yang ini tak menginginkan kebenaran. - Aini (sepotong rindu yang belum tersampaikan).