
haruskah aku menjadi puisi melankonis untukmu, tuan?
yang merubah debu menjadi suara rindu
yang merubah kayu - kayu untuk mengutarakan rasa pada anggunnya rupamu
barangkali kau lupa, tuan?
pada sandaran kepala;
dadaku, tempat hilir air matamu mengalir deras disana
mengusir gusar dalam bisik manja anak Adam
dan barangkali kau benar - benar lupa, tuan?
pada diri yang pernah terbunuh sepi bagai bangunan hierarki agung tak terjamah kutipan bingar;
meresap diam
ada harap cemas untuk kembali saling menatap mata penuh duka tertahan;
meski dipaksa mati tiap rasa yang pernah menetap di denyut nadi
tetapi tuan,
puan yang ini tak pernah lupa rayumu dalam canda malam
beradu penuh candu pada titik temu
dan kokoh bahumu mengusir resahku
pun aku tahu, tuan
sudah tamat seluruh geliat rasamu
hingga tatap rengkuhmu tak lagi membasuh getir yang menghampar sedu
biarkan rindu yang berlalu menjadi bait nada, tuan
biarlah angin bertiup lembut pada lingkaran semesta;
merengkuh samudra,
merekahkan purnama,
menerbangkan kelopak bunga kering ringkih penuh pelu,
membawa luka ikut pergi ke tempat tak bersinggah
- Aini
Popular posts from this blog
Ini adalah tentangku, tentangmu, tentang kita, juga seluruh kisah kita yang kehilangan arah. Di sudut layar gelap, pemikiran yang hanyut dalam lamunan tengah malam, menghadirkan selembar bayang yang perlahan hirap dari tempatnya bersemayam. Abadi di antara melodi dari partitur yang menjadi pengiring sebelum tidur. Ialah kalimat tentang 'sudah' saat kau beralasan 'lelah'. Aku pernah memikul tangisanmu. Bahu yang kerap kali menyerap resah sebelum kau jemput mimpimu. Tak lain, aku hanya figuran. Layaknya dinding pemanis untuk sebuah pertunjukan. Segala sesuatu pada hakikatnya berpasangan. Seperti, kau yang pergi dengan senyum sumringah, sedang aku diam mematung terikat gundah. Kau adalah lakon, sedang aku peran pendukung pemantik guyon. Kemudian ditertawakan semesta. Sebab membawa diri yang sudah terluka pergi mencari takhta di tengah medan perang. Takhta yang persis di sudut hatimu. Dengan kunci yang kau buang di luasnya imajiku. Maka aku jadi pengelana waktu,...
Puan yang ini sedang merindu tanpa bersua. Tanpa bertatap mata. Tanpa melihatmu ada dimana. Sementara tuan-nya menghilang entah kemana. Rasa khawatir menyala. Tapi ia yakin tuan-nya baik - baik saja. Rindu merindu. Hilang menghilang. Kabar berkabar. Kapal berlayar. Tak pernah berharap salah pelabuhan. Nyatanya, Mungkin puan sudah salah pelabuhan. Ia (mungkin) telah jatuh ke tuan yang salah Tapi mau diapakan? Siapa yang bisa melawan. Jika mencintaimu adalah sebuah kesalahan. Maka puan yang ini tak menginginkan kebenaran. - Aini (sepotong rindu yang belum tersampaikan).
Hukum di negeri ini lebih busuk dari kritik kapitalis Pasca meredupnya kobaran api gelora aktivis Berita sampah jadi pajangan layaknya obituari Molotov terakhir terlempar di gedung hijau Ekonomi jadi alasan kejujuran di cekoki HAM menjadi tiga huruf penghias buku keadilan Meski sengsara tak berawal dari nyalak senapan Istana hanya milik mereka penggiat korposial nasional Suap menjadikan rupa layaknya lubang sanggama binal Demi kedudukan, tahta, dan kemewahan Menjadi budak tetesan liur berahi uang jutaan dollar Bertahun - tahun menggelandang Satu tahun mendekam Lex talionis menjadi kalimat tanpa arti Dongeng keadilan layaknya tali untuk gantung diri Lebih baik bersujud di ranjang pelacuran Bukan pada kertas berisi tumpukan peraturan yang tidak berdasar pada Pancasila Yang disalahgunakan kumpulan para penghianat rakyat, kemudian mencekik keadilan sampai sekarat Tulisan sampah ini hanya ilusi. Jika kita tidak cinta pada air mata ibu pertiwi, yang menangis...
Ini mksdnya dear ex yah kak? wkwk
ReplyDeleteex kamu
Delete♥️♥️♥️
ReplyDelete:3
Deletepinter nulis bu dok keren bngtt
ReplyDeleteaminn makasih ya
DeleteKERENNN BANGEETT AKU PENSMUUU
ReplyDeleteaduhh sayangku
Delete